AIR MATA SANG PENGANTIN
Semua bersorak sorai, mereka semua sedang bergembira ria. Kedua mempelai berada di atas pelaminan dengan hiasan-hiasan mewah dan bunga-bunga yang diatur sedemikian rupa menimbulkan bau yang semerbak harumnya. Ruangan yang luas itu sesak dipenuhi para undangan yang datang, semua tamu menyalami kedua mempelai tanpa terkecuali. Waktu beranjak dan terus berlalu, pesta semakin ramai dan meriah. Sang mempelai wanita yang rupawan mengamati pemandangan itu dengan tatapan mata yang kosong, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Sang Mempelai wanita. Matanya yang redup memancarkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam seperti sang bumi yang kelihangan cahaya mataharinya.
Sang Mempelai perempuan terus mencari-mencari ke segala arah ruangan dan para undangan yang hadir, Ia berharap sangat berharap datang seseorang yang akan menyelamatkan hidupnya, seseorang yang penting karena bisa menggerakan detak jantungnya, memberi udara untuk bernapas dan menjadi masa lalu maupun masa depannya. Nasiblah yang membawa Sang Gadis mengapa dia bisa berdiri di pelaminan dengan seseorang yang asing dan sama sekali tidak di kenalnya. Pria disampingnya hanya pria yang terpilih oleh kedua orangtuanya, meskipun Sang Gadis menolak, membangkang maupun mengancam semua tidaklah ada gunanya. Yang terlihat sekarang hanyalah keputusasaan yang menyiksa karena sang penyelamat hati tidak akan datang dan seberapapun dia berharap semua akan berakhir dengan kekalahan. Tapi tenyata Tuhan berkehendak lain, seorang pemuda yang gagah datang dengan kemeja birunya berjalan menuju pelaminan dengan ketenangan dan kesabaran yang mempesona. Seketika itu juga wajah Sang mempelai wanita yang tadi kusut musam seperti benang kusut berubah berbinar-binar seperti anak kecil yang diberi mainan.
Sang Gadis memanggil salah seorang temannya yang ada di dekat pelaminan, dan berkata, “ Wahai Sonja sahabatku, tolong berikan
Sang Pemuda mampak sedikit terkejut dengan
Dengan hati yang berdetak kencang, Ia berkeliling mencari Sang dambaan hati. Dimanakah dia berapa, Saat itu Ia melihat sosok hitam dekat taman bunga yang sudah sangat dikenalnya, sosok yang dicintainya dan sosok yang selalu diimpikannya. Setelah mendapati dirinya di samping Sang Pemuda, tiba-tiba air matanya tak bisa dibendung lagi karena kebahagiaan yang membuncah. Kemudian dari bibirnya yang indah keluar kata-kata untuk Sang Pemuda, “ Wahai pujaan hatiku, Zaid, kenapa hanya kau diam saja saat melihatku bersanding dengannnya? Kenapa tidak kau bawa aku lari dari pelaminan busuk itu? Tahukah engkau bahwa aku sudah sangat menderita karena harus selalu berbohong? Sebenarnya apa yang engkau lakukan, tolong bawalah aku dari sini dari rumah neraka ini?”. Kata Sang Gadis sambil terisak-isak.
Sang Pemuda hanya berdiam diri, sedang ada peperangan dalam batinnya, apa yang harus dia lakukan, menolong gadis yang sangat dicintainya atau menjaga kehormatan keluarga dan dirinya. Dalam satu sisi Ia ingin menjadi orang yang terhormat tetapi Ia juga tidak dapat membohongi hatinya bahwa Ia akan merelakan apapun untuk kebahagiaan Sang Gadis. Sang Gadis hanya memandang Zaid dengan tetesan air mata yang berderai, “ Jawab aku? Mengapa kau tak bergeming sama sekali? Apakah kau tidak mencintai aku lagi? Jawab aku..??”. Kegembiraan yang tadi muncul berubah menjadi kemarahan yang membara, kesabaran yang ada berubah menjadi kekalutan yang menjadi- jadi.
Kemudian Sang Pemuda memegang pipi Sang Gadis dan memandang mata yang sangat dicintainya dan berkata, “ Pulanglah engkau dalam rengkuhan suamimu, Ia sekarang yang menggantikan aku, pergilah dan lupakan masa lalu kita. Aku mengikhlaskan semua yang terjadi, semua adalah kenangan yang sudah pergi menjadi cahaya-cahaya mimpi. Ku mohon kembalilah dan raihlah kebahagiaanmu, aku juga tidak mau orang-orang melihatmu menangis di sini”.
Sang Gadis bergetar hebat, terlihat kekecewaan dan kepedihan yang mengiris hatinya, “ Aku tidak akan kembali ke rumah itu, selama napasku masih ada aku akan tetap berlari sampai bayangan buruk itu pergi dari hidupku .“ Dengan napas memburu Sang Gadis tetap bersikeras, maka Zaid tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan suara lemah Ia berkata, “ Wahai Jasmine sebenarnya tak ada yang bisa abadi dan begitu juga cinta kita, suatu saat kita juga harus berpisah. Cinta sejatimu bukanlah aku, dan rumah itu akan membangun cintamu yang baru. Ku mohon relakanlah semua ini dan semoga bahagia selalu bersamamu”. Sang Pemuda beranjak untuk pergi dari taman itu tetapi terhenti karena suara Sang Gadis yang merintih, “ Kalau memang seperti yang kau inginkan, ijinkan aku mengakhiri hidupku,di depanmu kekasih hatiku, agar orang yang terakhir melihatku adalah seseorang yang paling aku cintai dan lebih berharga dari apaun di dunia ini. Sang Pemuda berlari ke arah Sang Gadis untuk mencegah hal itu terjadi,tetapi sangat disayangkan Jasmine sudah menancapkan piasau yang dibawanya ke jantungnya. Darah sudah keluar dari tubuhnya mengotori pakaian mewah yang dikenakan Jasmine. Sang Gadis yang sudah tergeletak di tanah, dengan kekuatan terakhir berkata kepada Zaid yang mendekatinya, “ Lihatlah kekasihku, setiap tetes darah ini selalu ada namamu, ku persembahkan semua untukmu. Janganlah engkau menyesal dengan apa yang telah terjadi karena aku bahagia bersamamu dan terima kasih untuk semua yang kau beriakan untukku”. Wajah Sang Gadis yang tadi cantik jelita berubah menjadi pucat pasi menunggu Sang Malaikat Maut menjemput, membawa jiwanya meninggalkan tubuh yang sudah berlumuran darah.” Ha..nya.. ini.. yang ..bisa..aku la..ku..
Dalam sekejab Sang Pemuda kehilangan orang yang sangat sangat dicintainya. Kini dia sudah tidak bisa berpikir lagi maka tanpa pikir panjang, pisau yang ada di dada Jasmine diambil dan ditancapkan pada tubuhnya sendiri. Darah segar emngalir tanpa henti dari tubuhnya. Maka dengan kekuatan terakhir, Zaid mendekap dan memegang tangan Sang Gadis erat- erat. Dengan tatapan yang sangat lembut, Ia belai wajah kekasihnya dengan penuh mesra, “ WAhai kekasihku maafkanlah aku karena membohongi hatiku dan tidak bisa memperjuangkan cinta kita di dunia ini. Tetapi ingatlah bahwa hanya tubuh kita yang membusuk di dalam kubur, jiwa kita akan selalu bersama di